Salah satu buah reformasi yang
spektakuler adalah euforia berbicara. Setiap saat kita dapat melihat para
komentator, dan para pakar berbicara tentang topik apa saja, dan sering kali
dialog digelar secara kontroversial dengan berbagai argumentasi yang membuat
kita bingung, dan tidak pernah memberikan solusi penyelesaian secara
tuntas dalam menyikapi kondisi bangsa yang carut marut.
Berkata-kata dan kemampuan berbicara
memang perlu, apalagi di depan publik, dan menjadi sebuah kebutuhan
karena kita memiliki fungsi sebagai makhluk sosial dengan kebiasaan
berinteraksi antar sesama. Untuk kepentingan itu, berkata-kata adalah sebuah
jalan sikap yang harus diambil.
Pada umumnya, orang yang banyak
berbicara adalah orang yang lemah kepribadian. Ciri orang intelek menurut
Islam yang disebutkan Al-Qur’an adalah orang yang mendengarkan perkataan orang
lain (alladziina yastami’unal qaul) dan mengikuti yang baik dari perkataan itu
(fayattabiuna ahsanah). Ia adalah orang yang mau mendengarkan dan menganalisis.
Sementara itu, orang pandai yang
suka mendengarkan orang lain akan disukai. Tidak sedikit diantara kita
lebih siap untuk didengarkan daripada mendengarkan. Ada orang yang mempunyai
kebiasaan berbicara dulu, baru berpikir sehingga ketika akan berhenti berbicara,
dia tidak menemukan bagaimana caranya berhenti atau akan kesulitan untuk
berhenti. Karena itu, diam menunjukkan kekuatan kepribadian seseorang.
Kemampuan mendengarkan adalah kekuatan kepribadian yang luar biasa besarnya.
Jika ingin berbicara, sebaiknya kita
harus benar-benar yakin bahwa apa yang akan disampaikan adalah sesuatu yang
baik dan benar dan sudah dipikirkan. Kurangilah perkataan-perkataan yang muncul
secara refleks. Biasakanlah diam atau merenung, maka kita akan menjadi
produktif dalam hidup. Diam bukan dalam arti kita sama sekali tidak berbicara,
melainkan diam dalam arti hanya berbicara jika ada kebutuhan untuk itu Layak
disosialisasikan di sini pesan Nabi Muhammad SAW ."Siapa yang
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (kiamat), maka hendaklah ia
berkata yang baik, atau (kalau dia tidak sanggup) hendaklah dia diam".
Diam memiliki faedah dan syarat
kondisionalnya tersendiri. Yang penting adalah kita mengetahui waktu-waktu yang
tepat untuk mengambil diam sebagai sikap kala kita berinteraksi dengan orang
lain. Diam bahkan bisa menjadi kebiasaan efektif yang bila diterapkan akan
membuat diri kita menjadi lebih produktif. Yaitu dengan membiasakan lebih
banyak diam dan mendengar daripada berbicara. Sejarah membuktikan Tokoh sekaliber
Mahatma Ghandi dengan Ahimsa-nya (gerakan tidak berbicara)
berhasil memerdekakan India. Karenanya untuk mewujudkan karya besar, kita
tidak perlu banyak mengumbar kata. Wallohu A'lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar