MACAM MACAM PUASA SUNAH
Pada
kesempatan kali ini, Rumaysho.com mencoba mengangkat pembahasan puasa sunnah
yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga bermanfaat.
Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara
ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut,
كُلُّ
عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى
وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ
فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.
وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan yang
dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang
semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang
akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan
karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu
kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.
Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau
minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).
Adapun
puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib.
Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali
Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun).[1] Lewat
amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits qudsi,
وَمَا
يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا
أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى
يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى
بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan
diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku
telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia
gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan
untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang,
memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon
sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan,
pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
1. Puasa Senin Kamis
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ
الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا
صَائِمٌ
“Berbagai amalan dihadapkan
(pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan
sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih
dilihat dari jalur lainnya).
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau mengatakan,
إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ
وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.”
(HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)
2. Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa
saja.
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata,
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ
لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ،
وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (yaitu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak
meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2]
mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”(
HR. Bukhari no. 1178)
Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,
أَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ
شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ
يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Apakah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah
menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu
bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan
puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau
beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun,
hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan
Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.[2] Dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ
الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun
ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).
Dari Abu
Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
padanya,
يَا
أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ
عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin berpuasa tiga
hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan
Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
3. Puasa Daud
Cara
melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أحَبُّ
الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ
دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ،
وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا
“Puasa yang paling disukai oleh
Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat
Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan
tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.”
(HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)
Dari
'Abdullah bin 'Amru radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata,
أُخْبِرَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنِّى أَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ
النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -
صلى الله عليه وسلم - « أَنْتَ الَّذِى تَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ
وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ » قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ . قَالَ « إِنَّكَ لاَ
تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ
ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ
مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ » . فَقُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ » . قَالَ قُلْتُ
إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا
، وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ ، وَهْوَ عَدْلُ الصِّيَامِ » . قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ
أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ » .
Disampaikan
kabar kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa aku berkata; "Demi Allah, sungguh aku akan
berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku."
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya ('Abdullah bin
'Amru): "Benarkah kamu yang berkata;
"Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku pasti akan
shalat malam sepanjang hidupku?". Kujawab; "Demi bapak dan ibuku sebagai
tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya". Maka
Beliau berkata: "Sungguh
kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah dan
berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan berpuasalah selama tiga hari dalam
setiap bulan karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang
serupa dan itu seperti puasa sepanjang tahun." Aku katakan;
"Sungguh aku mampu lebih dari
itu, wahai Rasulullah". Beliau berkata: "Kalau begitu puasalah sehari
dan berbukalah selama dua hari". Aku katakan lagi: "Sungguh aku mampu
yang lebih dari itu". Beliau berkata: "Kalau begitu puasalah sehari
dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud 'alaihi
salam yang merupakan puasa yang paling utama". Aku katakan
lagi: "Sungguh aku mampu yang lebih
dari itu". Maka beliau bersabda: "Tidak ada puasa yang lebih
utama dari itu". (HR. Bukhari no. 3418 dan Muslim no. 1159)
Ibnu
Hazm mengatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang dari melakukan puasa lebih dari puasa Daud yaitu sehari puasa
sehari tidak.”[3]
Ibnul
Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Puasa seperti puasa Daud, sehari berpuasa
sehari tidak adalah lebih afdhol dari puasa yang dilakukan terus menerus
(setiap harinya).”[4]
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa
sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai
membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan
sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat,
di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak
melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak
memperbanyak puasa. ... Wallahul Muwaffiq.”[5]
4.
Puasa di Bulan Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan,
لَمْ
يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ
شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan
Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban
seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156).
Dalam
lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ
يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa
hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Yang
dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya[6])
sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[7] Para
ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan
penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah
wajib.[8]
5.
Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa
Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa
setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
6. Puasa di Awal Dzulhijah
Dari
Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى
اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ
فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ
مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal sholeh yang
lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari
ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya:
"Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat
jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun."
(HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no.
1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa
saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa
shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[9] Di
antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari
Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ
الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa
berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram),
berpuasa tiga hari setiap bulannya[10],
...” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).
7. Puasa ‘Arofah
Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu
Qotadah Al Anshoriy berkata,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ
أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ
الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ
يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa
‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab,
”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim
no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan
puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ
فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman
susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
8.
Puasa ‘Asyura
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ
بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah
(puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara shalat
yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR.
Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan
penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[11]
Keutamaan
puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa
‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Namun Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk
melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan
puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi
puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu
Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata
bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan
memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ -
إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ
الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Wahai Rasulullah, hari ini
adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau
mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)-
kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum
sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal
dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
Ketentuan
dalam Melakukan Puasa Sunnah
Pertama:
Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan
selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa
wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
ia berkata,
دَخَلَ
عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ
شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا
يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ «
أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, "Apakah kamu mempunyai
makanan?" Kami menjawab, "Tidak ada." Beliau berkata,
"Kalau begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada
hari yang lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi
hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju)." Maka
beliau pun berkata, "Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku
berpuasa." (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul
dalam Shahih Muslim, “Bab:
Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal
(bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun
tanpa udzur. ”
Kedua:
Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits
‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin
memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat
dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi
mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk
tetap menyempurnakan puasa tersebut.[12]
Ketiga:
Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali
dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita
berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR.
Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An
Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat
dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab
pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan
istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh
istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri
melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[13] Beliau rahimahullahmenjelaskan
pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena
ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang
dengannya.”[14]
Semoga
Allah beri taufik untuk beramal sholih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar